Menghadapi Drama Politik Kantor

by Erick Iskandar


Posted on 10-Apr-2020



MENGHADAPI "DRAMA" POLITIK KANTOR

 

Salah satu hal paling destruktif dalam perjalanan professional kita adalah ketika kita menghabiskan banyak energi terhadap “drama” politik kantor. Suasana kerja yang penuh dengan intrik dan drama politik hanya akan menjadi energy drainer, menghilangkan suasana trust, menciptakan rasa lelah mental, menimbulkan rasa curiga, melahirkan apati, meracuni relasi, menciptakan stress.

 

Bayangkan jika kita menghabiskan energi untuk hal ini. Padahal energi yang sama bisa kita gunakan untuk berkontribusi produktif pada karya dan pelayanan kita. Well, bagaimanapun politik kantor akan selalu ada dalam perjalanan karir kita. 

 

Politik kantor memang tidak selamanya berkonotasi negatif, ada kalanya ia memiliki dampak positif, misalnya : menciptakan suasana kompetitif yang sehat. Politik kantor menjadi destruktif ketika ia sudah menjadi “drama”.

 

“Drama” dapat terjadi dalam relasi ketika kita berfokus pada motif kepentingan diri sendiri. Terkadang kita terjebak dalam “drama” yang membuat kita merasa menjadi korban, menyalahkan keadaan atau bahkan menikmati peran sebagai pahlawan yang mampu menyelematkan orang lain dari situasinya.

 

Dalam “drama” politik kantor, aspek-aspek yang biasanya terlibat adalah : 

  1. Posisi dan kekuasaan.
  2. Mengamankan jabatan.
  3. Kepentingan diri / departemen sendiri.
  4. Mengalihkan / menghindari tanggung jawab.
  5. Abuse of power.
  6. Persaingan tidak sehat.
  7. Nyinyir dan gosip.
  8. Persekongkolan di “belakang”.
  9. Membentuk kubu.
  10. Kubu saya Vs kubu dia.
  11. Cara “tricky” yang tidak etis.
  12. Menggalang dukungan untuk mendapat “power”.
  13. Menahan informasi untuk motif pribadi.
  14. Sengaja memperlambat proses yang berdampak pada departemen lain.

 Dan masih banyak lagi.

 

Lalu bagaimana kita harus bersikap dan mengambil peran terhadap “drama” ini? 

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita tinjau dahulu perspektif dari Stephen B. Karpman yang menciptakan sebuah model analisa psikologis dalam transaksional analisis.

 

 

THE DREADED DRAMA TRIANGLE (DDT)

 

Karpman memperkenalkan “The Drama Triangle / The Dreaded Drama Triangle” (DDT) yang terdiri atas 3 tokoh utama : VICTIM, PERSECUTOR, dan RESCUER. Dalam sebuah “drama” politik kantor, biasanya setiap orang (para pemainnya) akan terjebak untuk memainkan salah satu dari 3 peran tersebut.

 

Karpman Drama Triangle

 

1. VICTIM

 

Victim adalah pihak yang merasa menjadi korban. Victim merasa tidak berdaya terhadap situasi dan kondisi. Menghindari tanggung jawab terhadap tindakan mereka dan mudah menyalahkan orang lain atau lingkungan. Victim mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan “apa yang kuinginkan?” dan seringkali merasa pilihan satu-satunya adalah menunggu, mengkritik atau komplain. Fokus utama dari Victim adalah pada apa yang tidak mereka inginkan atau yang tidak mereka suka. Victim merasa tidak bahagia terhadap keadaan hidup, dan karena ia merasa tidak berdaya maka ia penuh dengan rasa kasihan pada dirinya sendiri. Ia dapat mencari simpati orang lain dengan membesar-besarkan cerita mengenai rasa sakit yang ia alami.

 

 

2. PERSECUTOR

 

Persecutor adalah pihak yang menyalahkan orang lain, yang merasa dirinya benar dan orang lain salah. Persecutor memiliki rasa takut tersembunyi kalau ia bisa menjadi victim. Karena itu, ia melakukan berbagai metode untuk mengontrol, melindungi, dan mempertahankan diri agar jangan sampai menjadi victim. Persecutor merasa ia harus menang dan meyakinkan orang lain bahwa ia-lah yang benar. Ia memiliki sedikit kepedulian terhadap perspektif orang lain. Persecutor merasa identitas dan harga dirinya terancam sehingga ia terdorong untuk berjuang mempertahankannya. Persecutor memfokuskan dirinya untuk bertahan hidup (survival) dengan menggunakan kontrolnya untuk mendominasi keadaan. Pikiran Persecutor terfokus pada bagaimana untuk selalu bisa menang.

 

 

3. RESCUER

 

Rescuer berperan untuk “menyelamatkan” orang lain. Dengan “membetulkan” atau menolong orang lain, Rescuer percaya bahwa orang lain akan menghargai dan menganggapnya orang baik. Rescuer merasa memiliki kewajiban dan kebutuhan untuk membetulkan sesuatu yang ia anggap salah. Ia seringkali mengambil tanggung jawab / pekerjaan berlebih, bahkan ketika orang lain mampu mengambil tanggung jawabnya sendiri. Rescuer seringkali menarik orang lain yang menjadi victim untuk kemudian “menyelamatkannya”. Rescuer sama seperti victim, berfokus pada apa yang tidak beres dan kemudian berupaya memperbaikinya. Rescuer seakan-akan memiliki indra ke-enam untuk mampu menerka siapa orang-orang yang menjadi victim dan kemudian membantu mereka. Rescuer berupaya untuk menyenangkan banyak orang.

 

 

Perhatikanlah pembicaraan (“drama politik kecil”) berikut ini antara Anton dengan Wina :

 

Anton : Saya gak nyaman kerja kaya begini terus. Hari ini adu argumen lagi sama Roni. Kayanya gak bisa nih kerja kaya gini terus.

 

Wina : Kenapa gak ngomong sama atasan kamu. Dia kan bisa bantu.

 

Anton : Emang sih, tapi ini bukan urusan dia kan?

 

Wina : Walaupun begitu, kan yang penting dicoba dulu.

 

Anton : Yah, gimana yah… Kan kamu tahu sendiri, orangnya gak enak diajak ngomong.

 

Wina : Bikin tertulis aja ke MD (Managing Director) gimana? Aku yakin kok dia pasti peduli sama situasi kerja yang dialami anak buahnya.

 

Anton : Masa kamu belum ngerti juga sih? Kalau aku lakukan itu, bisa-bisa atasan balik marah-marah – lah ke aku.

 

Wina : Ya udah kalau begitu, ngapain kami certain masalah ini ke aku? Jelas-jelas kamu kaya ga ada niat buat menyelesaikan semua masalah ini kok. Kamu tuh bisanya cuma ngeluh dan nuntut ini-itu tapi ga ada action.

 

Anton : Loh, kamu jangan ikut nambahin masalah dong. Kamu kan nggak tahu rasanya kerja bertahun-tahun sama mereka. Percuma kalau begitu cerita ke kamu.

 

Wina : Kok kamu begitu sih.

………………………

 

Dari pembicaraan tersebut, dalam perspektif Anton, ia menempatkan dirinya sebaga Victim. Sementara Roni ditempatkan sebagai Persecutor. Namun dalam perspektif Roni, bisa jadi Anton-lah yang sebagai Persecutor sementara Roni adalah Victim-nya. Wina memberi saran agar Anton melibatkan atasannya atau MD sebagai Rescuer. Di akhir pembicaraan, malah Wina yang terjebak sebagai Victim dan menjadikan Anton sebagai Persecutor.

 

Demikianlah dalam sebuah “drama” politik kantor, setiap orang yang terlibat didalamnya bisa saling beralih peran dari Victim ke Persecutor, lalu ke Rescuer, kembali lagi ke Victim dan begitu seterusnya. Bukankah melelahkan jika kita terus menerus terjebak dalam peran drama ini?

 

Karena itu, dalam menghadapi politik kantor, JANGAN TERJEBAK untuk memainkan peran sebagai Victim / Persecutor / Rescuer. Lalu peran apa dong yang harus kita ambil?

 

 

THE EMPOWERMENT DYNAMIC (TED)

 

Untuk menjawab pertanyaan sebelumnya, mari kita ambil perspektif dari sebuah model The Empowerment Dynamic (TED). Pada tahun 2005, David Emerald memperkenalkan “The Power of TED” sebagai antidote dari “drama triangle” untuk mengarahkan individu pada relasi yang lebih efektif. TED terdiri dari: Creator sebagai antidote dari Victim, Challenger sebagai antidote dari Persecutor, dan Coach sebagai antidote dari Rescuer.

 

The Empowerment Dynamic

 

1. CREATOR

 

Karakteristik utama Creator :

  • Meningkatkan kapasitas diri untuk menciptakan visi dan hasil yang diinginkan dengan menjawab pertanyaan “apa yang kuinginkan?” Respon seorang Creator didasarkan pada evaluasi yang matang terhadap situasi dan kemudian memilih langkah tindakan yang tepat untuk mencapai hasil yang diinginkan. Creator tidak bersikap reaktif terhadap permasalahan.
  • Memilih respon terhadap kondisi hidup – bahkan ketika terjadi permasalahan. Banyak hal tak terduga terjadi dalam hidup, namun sebagai Creator selalu menyadari bahwa ia selalu punya PILIHAN terhadap apapun yang terjadi pada dirinya.

 

 

2. CHALLENGER

 

Salah satu peran utama Challenger adalah menjadi katalis untuk perubahan, pembelajaran dan pertumbuhan. Challenger dapat bersifat penyayang atau konfrontatif atau keduanya. Challenger adalah ibarat guru yang mengajarkan pembelajaran kehidupan menuju pertumbuhan diri. Challenger bertanya pada dirinya sendiri : “apa niat saya yang sesungguhnya?” – apakah untuk terlihat baik / sebagai nice person atau untuk menciptakan pembelajaran dan pertumbuhan bagi orang lain? Challenger memiliki niat untuk “membangun” dan bukan untuk “menjatuhkan”.

 

 

3. COACH

 

Coach memandang orang lain sebagai pribadi yang mampu dan memiliki sumber daya. Coach memandang orang lain sebagai Creator dan akan mensupport mereka dalam proses mencapai hasil. Coach mengajukan pertanyaan untuk membantu mengklarifikasi hasil yang diinginkan, kondisi realitas saat ini, dan kemungkinan “baby steps” (langkah-langkah kecil) yang akan dilakukan. Coach akan menantang Creator untuk berani bertindak dan mengambil jalan dalam mewujudkan apa yang diinginkan. Coach mensupport dengan tetap memberikan “power” pada orang lain dan mendorong kemandirian dan kesalingtergantungan pada orang yang ia layani.

 

 

MAKING SHIFT HAPPENS

 

Untuk menghadapi “drama” politik kantor, kita perlu melakukan perubahan peran. Merubah kondisi diri dari terjebak dalam “Drama Triangle” menuju “The Empowerment Dynamic” akan membawa relasi kita pada tingkat yang lebih efektif dan lebih berdampak positif.

 

DDT to TED

 

Dalam menghadapi “drama” politik kantor, hindarilah DDT dan beralihlah menjadi TED dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :

 

1. Jangan memandang diri sebagai korban / Victim, sadarilah bahwa kita adalah Creator yang senantiasa memiliki PILIHAN terhadap situasi politik yang kita hadapi.

 

2. Fokuslah pada “apa yang kuinginkan”, dan bukan pada “apa yang tidak kuinginkan” terhadap situasi politik kantor yang kita hadapi. Jangan sekedar mengeluh terhadap “apa yang tidak kuinginkan”, melainkan bertindaklah aktif untuk mencapai “apa yang kuinginkan”.

 

3. Jangan mengambil peran sebagai Persecutor dengan menyakiti  / mengontrol / menyalahkan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung, baik secara terang-terangan maupun lewat “belakang”. Melainkan ambillah peran sebagai Challenger, dimana niat kita adalah sungguh untuk membantu orang lain bertumbuh, belajar dan berkembang.

 

4. Jangan tergesa-gesa mengambil peran sebagai Rescuer agar dipandang “hebat” dan bisa menyelamatkan orang lain. Sebab apa yang kita lakukan sebagai Rescuer justru menciptakan ybs menjadi tergantung, membuat ybs tidak mandiri dan capable dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Ambillah peran sebagai Coach yang memberdayakan orang lain agar mereka mampu memecahkan masalahnya sendiri tanpa tergantung pada kita.

 

5. Jangan menghindar dan tidak mengambil peran apapun. Tetapkanlah pilihan anda dalam situasi poilitik kantor yang dihadapi. Pilihlah peran anda apakah sebagai Creator, Challenger, Coach ataupun kombinasi diantaranya.

 

Selamat memilih peran dalam menghadapi "drama" politik kantor.